Tuesday, 26 November 2013

Sejarah Festival Film Indonesia




Sejarah Festival Film Indonesia



Semula banyak pihak, terutama dari insan perfilman, merasa ketar-ketir  apakah  tahun 2013 Festival Film Indonesia  atau lebih dikenal dengan nama FFI  akan diadakan , mengingat sampai bulan Agustus belum terdapat tanda –tanda persiapan. Walaupun sejumlah media sudah merilis , bahwa FFI 2013 bakal diselenggarakan  di Semarang. Akhirnya tanda-tanda tersebut sudah terjawab dengan terbentuknya  Panitia Pelaksana (Panpel) FFI 2013 dan sudah bekerja. Artinya pihak yang meragukan FFI  bisa terwujud , serta pihak yang pesimis, jelaslah terkaget-kaget. Sebab sudah dipastikan acara puncak FFI 2013  diadakan di Ibukota Provinsi Jawa Tengah, 7 Desember. 
            Banyak acara menarik yang digelar sebelum acara puncak. Sementara Panpel  juga menyiapkan serangkaian program apresiasi ke beberapa kota di Jawa Tengah, di antara Banyumas dan Jepara yang komunitas perfilmannya di kedua kota itu demikian bergairah  dalam memajukan perfilman Indonesia.
Djamaluddin Malik , seorang tokoh perfilman nasional yang merintis sekaligus pegagas  FFI , diadakan pertama kali tahun 1955 dan bersifat kompetitif , pasti  tidak bakal percaya bahwa sejarah FFI begitu panjang, meski perjalanannya mengalami  jatuh bangun yang sejalan dengan situasi serta kondisi perfilman Indonesia. Pada penyelenggaraan FFI 2013 saja Panpel bekerja singkat  dan dead line yang mepet. Sehingga kesannya terburu-buru. Seyogyanya Panpel bekerja sepanjang tahun. Usai digelar FFI, Panpel sudah  siap bekerja lagi. Menyiapkan program FFI selanjutnya.
          Namun persoalannya tidak sesederhana itu.  Sebaliknya Djamaluddin Malik takkala menyelenggarakan festival pertamakali, bisajadi tidak membentuk panitia pelaksana.  Sang perintis ini yang tidak lain produser film, malah mengongkosi sendiri, bahkan rekan kolega sesama produser mencibir apa yang diperbuat Djamaluddin Malik  sewaktu  menggelar festival film. Namun semua itu bermula dari niat . Djamaluddin membuat festival film untuk upaya menarik perhatian masyarakat bahwa film Indonesia tidak kalah baiknya dengan film asing. Tentu hal ini niat yang gagah. Kata lain niat yang menumbuhkan apresiasi terhadap film Indonesia.

          Bagaimanapun momentum yang tepat, dan mesti digenggam oleh insan perfilman pada saat itu, yaitu tahun 1955 yang baru sepuluh tahun Indonesia merdeka. Niat lain yang digulirkan Djamaluddin Malik ialah festival film itu sebagai peristiwa budaya. Artinya untuk evaluasi film produksi dalam negeri selama satu tahun. Tetapi yang lebih penting festival film tahun 1955 adalah dijadikan forum pertemuan antara pembuat dan penonton film , sekalian forum penilaian mengenai kualitas teknis penggarapan serta penyajian atas karya film. Pada tahun 1955 jumlah produksi mencapai 65 judul film. Tahun 1954 berjumlah 60 judul film.    Tentang hasil festival film 1955  ?
Penyelenggara festival film tahun 1955 terkesan hanya sekadar bagi-bagi piala. Karena terdapat dua  peraih terbaik, masing-masing untuk aktor-aktris utama dan aktor-aktri pembantu. Sedangkan film terbaik diraih Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail. Lantas sutradara terbaik disabet Lilik Sudjio (Tarmina). Bagi-bagi piala itu berlanjut pada festival film tahun 1960.  Kebijakan bagi-bagi piala sempat menjadi polemik. Namun harap maklum  semuanya itu akhirnya dianggap sah-sah saja , karena pelaksanaan dan pendanaan festival film itu sepenuhnya versembur dari seorang, yakni Djamaluddin Malik.
          Usai menyelenggarakan festival film 1955, tahun berikutnya Djamaluddin Malik tidak mengadakan festival. Selama tiga tahun, tepatnya  tahun 1956 hingga tahun 1959 tidak ada lagi festival film.  Tahun 1960 baru ada festival film, diselenggarakan di Jakarta, 21 -25 Februari,  film terbaiknya adalah Turang  disutradarai Bachtiar Siagian yang juga dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Selesai festival film 1960 , tahun berikutnya tak ada lagi festival . Barulah pada bulan Agustus 1967 diadakan Pekan Apresiasi Film Nasional, sebagai nama lain dari FFI ketiga setelah 1955 dan 1960. Pekan Apresiasi Film Nasional 1967 diadakan di Jakarta, 9-16 Agustus, yang tidak ada film terbaik. Sutradara terbaik jatuh pada Misbach Y.Biran (Dibalik Tjahaya Gemerlapan). Untuk pemeran utama pria  ialah Sukarno M.Noor. Terus pemeran utama wanita yaitu Mieke Wijaya (Gadis Kerudung Putih).
          Beberapa kali penyelenggaraan FFI vakum. Hal ini diakibatkan kondisi politik yang tidak menentu pada saat itu. Penyelenggaraan FFI baik pada tahun 1955, 1960 hingga tahun 1967 yang dinamakan Pekan Apresiasi Film Nasional, kerap disebut  pemerhati film  sebagai Pra-FFI. Antara tahun 1970 sampai 1975  ada festival terbatas berupa Pemilihan Best Actor/Actress yang diselenggarakan oleh PWI Jaya Seksi Film Kegiatan ini memang akhirnya tersaingi oleh masyarakat film yang dikelola oleh Yayasan Nasional Film Indonesia (YFI) , dan mendapat dukungan oleh Departemen Penerangan , Deppen, yang pada waktu itu merupakan institusi pembina perfilman nasional.
          YFI mengadakan festival film  tahun 1973 , yang seterusnya disebut FFI, dengan menobatkan Perkawinan  karya Wim Umboh, meraih pula piala untuk sutradara terbaik.  Di satu sisi, pemilihan Best Actor/Actris versi wartawan  dihentikan pada tahun 1975 alias terintegrasi dengan YFI. Pada sisi lain, Departemen Penerangan  memprakarsai dibentuknya Dewan Film Nasional. Maka melalui lembaga ini pelaksana FFI tahun 1981 yang dilakukan YFI dilebur. Maka pada tahun 1982  penyelenggaraan FFI sepenuhnya dikelola oleh Dewan Film  Nasional.
          Sejak saat itu pula penyelenggaraan  FFI berpindah –pindah dari satu kota ke kota lain, diadakan di Medan tahun 1983. Tahun berikutnya di Yogyakarta, di Bandung dan pada tahun 1986 kegiatan dipusatkan di Jakarta, hanya puncak acara di Denpasar . Patut dicatat penyelenggaraan FFI di daerah dimaksudkan untuk mendekatkan diri antara artis film dengan masyarakat penontonnya.

Sumber : republica.co.id

arwan nugraha Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.